• ĐỔI TÊN MIỀN VIETWRITER.PRO SANG vietwriter.co TỪ NGÀY 18/11

New NOVEL SUAMIKU TERNYATA SEORANG PRESDIR (2 Viewers)

  • Bab 68

Bab 68 Harus Bagaimana Menyelesaikannya





Menghadapi tinju Ivander, Carlson tidak bergerak, raut wajahnya tenang.





Kepalan tangan Ivander tidak menyentuh Carlson, dia sudah dipegang erat oleh Henry dengan sedikit menggunakan kekuatannya, menekan tulang-tulang belulang Ivander hingga bergemelutuk.





“Lepaskan, sialan, apa yang ingin kamu lakukan?” Ivander merasa tulang-tulangnya sudah hampir remuk, amarahnya meledak, meraung dan berteriak, “Carlson, apa kamu begitu ingin cari mati? Kamu pikir siapa kamu? Apa kamu kita kamu hebat karena bisa menjadi tamu Carlton? Percaya atau tidak aku bisa membuatmu menghilang dari dunia ini selamanya.”





Melihat kemarahan Ivander, Carlson tampak menjadi orang luar, hanya menatapnya dengan dingin, dia sedang menonton drama, sebuah drama konyol.





Dia tidak ingin melihat lebih jauh.





Karena itu, dia menatap Ivander dengan dingin kemudian berbalik dan berjalan pergi.





Ivander melihat Carlson akan pergi, dia menjadi panik, bagaimana mungkin dia akan membiarkannya pergi begitu saja?





Ivander lalu melayangkan tinju lain pada Henry, dan Henry merunduk dengan tangkas dan mengangkat kakinya dan menendang perut Ivander.





Ivander kesakitan, tidak bisa menahan dan memaki: “Brengsek! Carlson, kamu berhenti! Jika memeliki kemampuan maka kita satu lawan satu!”





“Hahahaha …” Mendengar perkataan ini, Henry tertawa, “Tuan Ivander, kusarankan kamu berhenti sampai di sini, jika Presdir turun tangan, nyawamu mungkin akan melayang.”





Ivander masih tidak senang, berpikir Henry hanya meledeknya, jadi dia sekali lagi melayangkan tinjunya, kali ini seperti sebelumnya, belum menyentuh Henry, dia sudah terpukul terlebih dulu.





Setelah Ivander menerima beberapa pukulan, personel keamanan yang hanya akan muncul setelah insiden selesai datang tepat waktu.





Henry melepaskan Ivander, menoleh dan berkata kepada penjaga keamanan: “Bagaimana kalian melakukan pekerjaan kalian? Mengapa orang yang tidak memiliki undangan bisa masuk?”





“Tuan …”





“Sudahlah.” Henry melambaikan tangannya, “Bawa dia keluar.”





“Siapa yang berani menyentuhku. Aku diundang oleh Carlton, siapa yang berani menyentuhku.” Ivander terlalu marah, sama sekali mengabaikan sikap petugas keamanan terhadap Henry, masih berpikir membawa nama Carlton sebagai perisainya, dan dia tidak tahu bahwa orang yang disinggungnya itu adalah Carlton — raja di dunia bisnis.





Henry berkata dengan dingin: “Kalian jelaskan baik-baik pada Tuan Ivander, siapa yang memintanya pergi.”





“Tuan Ivander, Carlton tidak menyambutmu, mohon segera pergi, atau jangan salahkan kami yang akan memintamu pergi.” Pertarungan tadi sudah menarik banyak perhatian orang, saat ini petugas keamanan juga berbicara dengan sangat keras, sudah ada orang yang menunjuk dan membicarakannya.





Ivander masih tidak menyerah, dan berkata: “Apa kamu tidak tahu siapa aku? Aku Ivander, Ivander dari Group Gu, kalian berani mengusirku, satu per satu akan tahu akibatnya.”





“Aku tidak mengenal Ivander dari Group Gu, aku hanya tahu Carlton dari Group Aces. Tuan Ivander mohon kamu bekerja sama, atau kami tidak akan segan lagi.” Kata-kata petugas keamanan bahkan lebih memalukan daripada tamparan di wajah Ivander.





Saat ini, dia akhirnya menyadari, dia benar-benar membuat masalah besar hari ini, tidak hanya mendapat hinaan, dia juga kehilangan wajahnya, dan yang paling penting adalah dia meninggalkan kesan buruk di hati Carlton.





Demi terus bekerja-sama dengan Group Aces di kemudian hari, Ivander memutuskan untuk menahannya, kemudian dia akan mencari Carlson untuk membuat perhitungan.





Ivander diikuti oleh staf keamanan berjalan melalui aula, pandangan mata di sekitarnya tertuju padanya, suara mencibir terdengar di telinganya, seolah-olah malam ini dia adalah seorang badut.





Ivander mengepalkan tinjunya dengan erat, matanya yang sedikit memicing menunjukkan cahaya yang ganas dan berbahaya, berkata dalam hati — Ariella, Carlson, kalian yang tidak tahu diri, kalau begitu jangan salahkan aku yang tidak berperasaan.





……





Di ruang istirahat, Carlson berdiri di depan pintu, berdiri diam di sana selama hampir satu menit sebelum mendorong pintu.





Daiva melihat Carlson sudah muncul, dengan sadar diri dia undur diri keluar, sekalian menutup pintu.





Carlson mengunci pintu, menatap Ariella dengan pandangan mata yang dalam.





“Carlson, aku …” Ariella ingin menjelaskan, tapi bertatapan dengan pandangan mata Carlson yang suram, tidak bisa mengatakan apa-apa.





Sepertinya ada sesuatu yang tersangkut di tenggorokan, seolah-olah jika membuka mulut maka dia akan runtuh.





“Kamu jelaskan, aku akan mendengarkan.” Carlson menunggu sekian lama, tidak mendengar penjelasan dari Ariella, tidak tahan kemudian berkata mengingatkannya.





Apa yang bisa Ariella katakan padanya?





Memberitahunya apa yang terjadi di dalam keluarganya?





Membiarkannya mengasihani dirinya sendiri?





Tapi memang kenapa jika Carlson mengetahuinya? Ingin Carlson mendapatkan keadilan untuk dirinya? Melawan kekuasaan Ivander itu!





Terlebih lagi, tidak peduli apa rahasia yang tersembunyi di baliknya, memang Ariella yang melanggar janjinya sendiri, jelas-jelas dia berjanji tidak akan menemui Ivander lagi, tapi malah sekali lagi ditangkap oleh Carlson.





Dan lagi Ivander tadi sedang memeluknya.





Ariella harus memberi Carlson sebuah penjelasan, alasan sebenarnya dia tidak ingin menggunakannya, dan juga dia tidak ingin berbohong pada Carlson.





Untuk sekian lama, waktu terlewat, Ariella tidak tahu harus memulai dari mana.





Dia menatap Carlson, tidak ada cahaya di mata gelap yang dalam itu, hanya gelombang gelap yang menerjang.





Untuk sesaat, Ariella berharap bahwa dirinya dapat akan tenggelam dalam gelombang gelap itu, dan tidak perlu lagi mempedulikan dunia yang begitu rumit.





Tapi, Ariella tidak begitu, dia tidak bisa.





“Aku …” Ariella membuka mulut, tapi perkataannya terhenti.





Dan suara ini seperti memecah kesunyian.





Carlson yang sudah lama diam seakan tidak bisa lagi menunggu penantian yang panjang ini, dia tiba-tiba merentangkan tangannya dan menarik Ariella masuk ke dalam pelukannya, tangan kanannya menekan bagian belakang kepala Ariella, dengan panas dan juga ganas menciumnya.





Menciumnya dengan ganas, kejam, dan juga penuh dengan amarah.





Menelan seluruh napas Ariella, menggigit bibirnya.





Ariella berusaha keras menolak, tetapi sebagai gantinya Carlson malah makin mempertegas ciumannya.





Dengan cepat, bibir Ariella sudah tidak bisa lagi memuaskan Carlson.





Ciuman yang sengit dan sombong itu menyebar ke arah leher, menggigit sepanjang jalan, seakan bagai sedang menghukum.





“Carlson, jangan!” Ketika bibirnya bebas, Ariella berteriak, tetapi teriakan ini sepertinya tidak bisa menghentikan Carlson.





Telapak tangannya yang besar dengan cepat naik dari pinggangnya, mencengkeram tali bahu gaunnya dan dengan kuat menariknya, suara robekan terdengar.





Tubuhnya tiba-tiba merasakan dingin, Ariella tiba-tiba berseru: “Jangan–”





Ariella mengulurkan tangan ingin melindungi dadanya, tapi Carlson bergerak lebih cepat darinya, telapak tangan besar itu sudah menjulur ke bawah dari tulang selangkanya …





Ciuman Carlson yang panas perlahan turun dari atas, terus menyebar dari leher ke bawah, meninggalkan tanda satu demi satu.





Ketakutan yang kuat menghantam Ariella, dia mendorong, menolak, dan tercekat.





Beberapa hari ini, Ariella memikirkan bagaimana mereka akan bersatu, tapi tidak pernah berpikir akan seperti ini.





Di antara mereka, tidak seharusnya melukai dengan begitu dingin seperti ini.





“Carlson, berhentilah.” Ariella menitikkan air mata, memohon untuk terakhir kalinya.





Suara itu serak dan lelah.





Ciuman kasar itu akhirnya berhenti, kekuatan yang memerangkapnya tiba-tiba terlepas, membuatnya mendapatkan kembali kebebasan.





Carlson mendongak dan menatap Ariella.
 
Advertisement

Bình luận facebook

Users who are viewing this thread

Back
Top Bottom